twitter
rss

Definisi
Pendengaran normal ialah dapat mendengar pembicaraan biasa dan tidak ada kesukaran mendengar suara perlahan. Secara fisiologis telinga manusia dapat mendengar suara dengan interval 20 – 20000 Hz.
Tuli adalah keadaan dimana individu tidak dapat mendengar sama sekali (total deafness), suatu bentuk ekstrim dari kekurangan pendengaran (Dullah,1977). Pendapat lain menyatakan bahwa tuli adalah penurunan fungsi pendengaran yang sangat berat.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tuli adalah keadaan dimana individu tidak dapat mendengar nada antara 20-20.000 Hz.


Etiologi dan macam gangguan pendengaran
Menurut Iskandar (1993), tuli dibagi menjadi 3 yaitu
1.    Tuli Konduktif (Tuli Hantar)
Yaitu bila keadaan kelainan terdapat di telinga luar dan tengah. Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara disebabkan oleh kelainan/penyakit di telinga luar atau tengah, dan pada umumnya tuli hantaran dapat disembuhkan.
Etiologi tuli konduktif : sumbatan liang telinga, sumbatan pipa eustacheus, perforasi gendang telinga, diskontinuitas rantai tulang dengar, fiksasi rantai tulang-tulang pendengaran.
2.    Tuli Saraf (Sensorineural deafness)
Pada tuli saraf kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus vili atau di pusat pendengaran.
Etiologi karena kerusakan saraf pendengaran pada : kelainan di telinga dalam, tumor di otak dekat saraf pendengaran, ibu yang sedang hamil sakit sehingga mengganggu pertumbuhan janin, pada usia lanjut, akibat bising terus menerus, penyakit tuli mendadak, keracunan obat.
3.    Tuli campur (mixed deafness)
Disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli saraf. Tuli campur dapat merupakan suatu penyakit, misal : radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam / merupakan dua penyakit yang berlainan misal, tumor nervus VIII dengan radang telinga tengah (tuli konduktif)
     Menurut Iswari, penyebab penurunan fungsi pendengaran adalah
a.    Suatu masalah mekanis di dalam saluran telinga atau di dalam telinga tengah yang menghalangi penghantaran suara (penurunan fungsi pendengaran konduktif)
b.    Kerusakan pada telinga dalam, saraf pendengaran atau jalur saraf pendengaran di otak (penurunan fungsi pendengaran sensorineural)
Dampak ketulian bagi tubuh
·         Timbul keletihan
·         Acuh, mudah mengalami depresi
·         Tidak nyaman dengan lingkungannya, menarik diri
·         Tidak bisa berespons, komunikasi kurang
·         Timbul kecurigaan
Pemeriksaan Ketulian
1)    Pemeriksaan dengan garputala
Pada dewasa, pendengaran melalui hantaran udara dinilai dengan menempatkan garputala yang telah digetarkan di dekat telinga sehingga suara harus melewati udara agar sampai ke telinga.
Penurunan fungsi pendengaran atau ambang pendengaran subnormal bisa menunjukkan adanya kelainan pada saluaran telinga, telinga tengah, telinga dalam, saraf pendengaran atau jalur saraf pendengaran di otak.
Pendengaran melalui hantaran tulang dinilai dengan menempatkan ujung pegangan garputala yang telah digetarkan pada prosesus mastoideus (tulang yang menonjol di belakang telinga). Getaran akan diteruskan ke seluruh tulang tengkorak, termasuk tulang koklea di telinga dalam, koklea mengandung sel rambut yang merubah getaran menjadi gelombang saraf yang selanjutnya akan berjalan di sepanjang saraf pendengaran. Pemeriksaan ini hanya menilai telinga dalam, saraf pendengaran dan jalur saraf pendengaran di otak.
Jika pendengaran melalui hantaran udara menurun, tetapi pendengaran melalui hantaran tulang normal, dikatakan terjadi tuli konduktif
Jika pendengaran melalui hantaran udara dan tulang menurun, maka terjadi tuli sensorineural.
2)    Audiometri
Menggunakan suatu alat “audiometer” yang menghasilkan suara dengan ketinggian dan volume tertentu.
Ambang pendengaran untuk serangkaian nada ditentukan dengan mengurangi volume dari setiap nada sehingga penderita tidak lagi dapat mendengarnya. Untuk mengukur pendengaran melalui hantaran udara digunakan earphone, sedangkan untuk mengukur pendengaran melalui hantaran tulang digunakan sebuah alat yang digetarkan yang kemudian diletakkan pada prosesus mastoideus.
3)    Audiometri Ambang bicara
Audiometri ambang bicara mengukur seberapa keras suara harus diucapkan supaya bisa dimengerti. Kepada penderita diperdengarkan kata-kata yang terdiri dari 2 suku kata yang memiliki aksentuasi yang sama, pada volume tertentu. Dilakukan perekaman terhadap volume dimana penderita dapat mengulang separuh kata-kata yang diucapkan dengan benar.
4)    Diskriminasi
Dilakukan penilaian terhadap kemampuan untuk membedakan kata-kata yang bunyinya hampir sama. Digunakan kata-kata yang bunyinya hampir sama. Pada tuli konduktif, nilai diskriminasi (presentasi kata yang diulang dengan benar) biasanya berada dalam batas normal. Pada tuli sensori, nilai diskriminasi berada dibawah normal. Pada tuli neural, nilai diskriminasi berada jauh di bawah normal.
5)    Timpanometri
Merupakan sejenis audiometri yang mengukur impedansi (tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri digunakan untuk membantu menentukan penyebab dari tuli konduktif.
Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang melalui telinga tengah dan berapa banyak suara yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga. Hasil pemeriksaan menunjukkan apakah masalahnya berupa :
ü  Penyumbatan tuba eustacheus
ü  Cairan di dalam telinga tengah
ü  Kelainan pada rantai ketiga tulang pendengaran yang menghantarkan suara melalui telinga tengah.
Timpanometri juga bisa menunjukkan adanya perubahan pada kontraksi otot stapedius, yang melekat pada tulang stapes. Jika terjadi penurunan fungsi pendengaran neural, maka refleks akustik akan berubah atau menjadi lambat. Dengan refleks yang lambat otot stapedius tidak dapat berkontraksi selama telinga menerima suara yang gaduh.
6)    Respon auditoris batang otak
Pemeriksaan ini mengukur gelombang saraf di otak yang timbul akibat rangsangan pada saraf pendengaran.
Respon auditoris batang otak juga dapat digunakan untuk memantau fungsi otak tertentu pada penderita koma atau penderita yang menjalani pembedahan otak.
7)    Elektrokokleografi
Digunakan untuk mengukur aktivitas koklea dan saraf pendengaran. Elektrokokleografi dan respon auditoris batang otak bisa digunakan untuk menilai pendengaran pada penderita yang tidak dapat atau tidak mau memberikan respon bawah sadar terhadap suara, misal untuk mengetahui ketulian pada anak-anak dan bayi, hipakusis psikogenik (pura-pura tuli).
Alat bantu dengar tuli
a.    Alat bantu dengar
Merupakan alat elektronik yang dioperasikan dengan bateri yang berfungsi memperkuat dan merubah suara sehingga komunikasi bisa berjalan lancar. Alat bantu dengar terdiri dari sebuah mikrofon untuk menangkap suara, amplifier untuk meningkatkan volume suara, speaker untuk menghantarkan suara yang volumenya telah dinaikkan. Alat bantu dengar sangat membantu proses pendengaran dan pemahaman percakapan pada penderita penurunan fungsi pendengaran sensorineural.
b.    Alat bantu dengar hantaran udara
Alat ini paling banyak digunakan, biasanya dipasang di dalam saluran telinga dengan sebuah penutup kedap udara atau sebuah selang kecil yang terbuka
c.    Alat bantu dengar hantaran tulang
Alat ini digunakan oleh penderita yang tidak dapat memakai alat bantu dengar hantaran udara, misalnya penderita yang terlahir tanpa saluran telinga atau jika keluar cairan dari telinganya (otorea). Alat ini dipasang di kepala biasanya dibelakang telinga dengan bantuan sebuah pita elastis. Suara dihantarkan melalui tulang tengkorak ke telinga dalam. Beberapa alat bantu dengar hantaran tulang bisa ditanamkan pada tulang di belakang telinga.
d.    Pencangkokan koklea
Implan / pencangkokan koklea dilakukan pada penderita tuli berat yang tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu dengar. Alat ini dicangkokkan di bawah kulit di belakang telinga dan terdiri dari 4 bagian :
v  Sebuah microfon untuk menangkap suara dari sekitar
v  Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah suara yang tertangkap mikrofon
v  Sebuah transmitter dan stimulator / penerima yang berfungsi menerima sinyal dari prosesor percakapan dan merubahnya menjadi gelombang listrik
v  Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan mengirimnya ke otak.
Implan koklea sangat berbeda dengan alat bantu dengar. Alat bantu dengar berfungsi memperkeras suara, implan koklea menggantikan fungsi dari bagian telinga yang mengalami kerusakan.

Referensi :

Cowan, 1995, Mengatasi Gangguan Telinga, Arcan, Jakarta
Iskandar N,1993, Apa Yang Anda Perlu Ketahui Tentang Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorokan, FKUI, Jakarta

Studi analitik adalah riset epidemiologi yang bertujuan untuk memperoleh penjelasan tentang faktor-faktor risiko dan penyebab penyakit.  Faktor risiko adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang mempengaruhi perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan tertentu. Prinsip analisis yang digunakan dalam studi analitik adalah membandingkan risiko terkena penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar faktor penelitian.
Pada studi observasional, peneliti hanya mengamati perjalanan alamiah peristiwa, membuat catatan siapa yang terpapar dan tidak terpapar faktor peristiwa, siapa mengalami dan tidak mengalami penyakit yang diteliti.
1.         Metode Cross Sectional (Potong Lintang)
Adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan penyakit dan paparan (faktor penelitian) dengan mengamati status paparan dan penyakit serentak pada individu dari populasi tunggal, pada satu saat atau periode.
Dalam rancangan studi ini peneliti memotret frekuensi dan karakter penyakit, serta paparan faktor penelitian pada populasi dan pada satu saat tertentu. Konsekuensinya data yang dihasilkan adalah prevalensi bukan insidensi.
Tujuan cross sectional adalah untuk memperoleh gambaran pola penyakit dan determinan-determinannya pada populasi sasaran.
Langkah penelitian cross sectional yaitu :
·         Mengidentifikasi variabel variabel penelitian dan mengidentifikasi faktor risiko serta faktor efek
·         Menetapkan subjek penelitian atau populasi dan sampel
·         Melakukan observasi atau pengukuran variabel – variabel faktor risiko dan efek sekaligus berdasarkan status keadaan variabel saat itu. (pengumpulan data).
·         Melakukan analisis korelasi dengan cara membandingkan Proporsi antar kelompok hasil observasi.
Kekurangan :
a.       Pada pencuplikan non acak sulit diketahui probabilitas subjek untuk terpilih dari populasi sasaran. Jika pencuplikan tersebut terpengaruh oleh status penyakit dan sasaran, maka akan terjadi bias.
b.      Tidak dapat digunakan untuk menganalisa hubungan kausal penyakit dan paparan (validitas hubungan kausal menuntut sekuensi waktu yang jelas antara paparan dan penyakit /paparan harus mendahului penyakit).
c.       Penggunaan data prevalensi menyebabkan hasil studi ini mencerminkan tidak hanya aspek etiologi tetapi juga survivalitas penyakit. Jika data prevalensi  telah terjadi selective survival, maka frekuensi yang diamati akan lebih besar dari yang seharusnya diukur sedangkan jika data prevalensi telah terjadi mortalitas selektif maka frekuensi penyakit akan lebih sedikit sehingga terjadi bias (bias prevalensi-insidensi Neyman).

Kelebihan :
a.       Mudah dilakukan, sederhana dan murah karena tidak memerlukan follow up
b.      Dalam waktu yang bersamaan dapat dikumpulkan variabel yang banyak baik variabel risiko maupun variabel efek.
c.       Tidak memaksa subjek untuk mengalami faktor yang diperkirakan bersifat merugikan kesehatan (faktor risiko).
Contoh kasus : Mengetahui hubungan antara anemia besi pada ibu hamil dengan Berat Badan Bayi Lahir (BBL), dengan menggunakan rancangan atau pendekatan cross sectional.
Langkah Pertama : Mengidentifikasi variabel-variabel yang akan diteliti dan kedudukannya masing-masing.
ü  Variabel dependen (efek ) : BBL
ü  Variebel independen (risiko ) : anemia besi.
ü  Variabel independent (risiko) yang dikendalikan : paritas, umur ibu, perawatan kehamilan, dan sebagainya.
Langkah  kedua : Menetapkan subjek penelitian atau populasi dan sampelnya.
Subjek penelitian : ibu-ibu yang baru melahirkan, dengan lingkup daerah yang dibatasi misal lingkup Rumah sakit,Rumah bersalin atau rumah sakit bersalin. Batas waktu dan cara pengambilan sampel (teknik random, atau non random) ditentukan.
Langkah ketiga : Melakukan pengumpulan data, observasi atau pengukuran terhadap variabel dependen-independen dan variabel-variabel yang dikendalikan dalam waktu yang sama.
Caranya mengukur berat badan bayi yang sedang lahir, memeriksa Hb ibu, menanyakan umur, paritas dan variabel-variabel kendali yang lain.
Langkah  keempat : Mengolah dan menganalisis data dengan cara membandingkan antar kelompok hasil. Bandingkan Berat bayi lahir dengan Hb darah ibu. Dari analisis ini akan diperoleh bukti adanya atau tidak adanya hubungan antara anemia dengan BBL.


2.         Metode Case Control / Kasus Kontrol
Adalah rancangan studi epidemiologi mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian) dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya.
Ciri studi kasus kontrol adalah pemilihan subjek berdasarkan status penyakit, kemudian dilakukan pengamatan apakah subjek mempunyai faktor risiko atau tidak. Subjek yang menderita faktor risiko disebut kasus, sedangkan yang tidak menderita penyakit disebut kontrol.

Tahap Penelitian case control :
ü  Identifikasi variabel – variabel penelitian (faktor risiko dan efek)
ü  Menetapkan subjek Penelitian (populasi dan sampel)
ü  Identifikasi kasus
ü  Pemilihan subjek sebagai kontrol
ü  Melakukan Pengukuran retrospektif (melihat kebelakang) untuk melihat faktor risiko
ü  Melakukan analisis dengan membandingkan Proporsi antara variabel-variabel objek penelitian dengan variabel – variabel kontrol

Kekurangan :
a.       Terjadi bias informasi akibat ketidakteraturan dan ketidaklengkapan data tentang paparan atau pemberian dan pencatatan informasi tentang status paparan dipengaruhi oleh status penyakit subjek.
b.      Tidak efisien jika digunakan untuk mempelajari paparan-paparan yang langka jika beda risiko (RD) antara populasi yang berpenyakit dan tak berpenyakit kecil. Dibutuhkan ukuran sampel yang besar dan prevalensi paparan pada populasi yang berpenyakit yang cukup tinggi.
c.       Tidak dapat menghitung laju insidensi (kecepatan kejadian penyakit) baik yang terpapar maupun tidak terpapar karena subjek dipilih berdasarkan status penyakit
d.      Pada beberapa situasi tidak mudah untuk memastikan hubungan temporal antara paparan dan penyakit.
e.      Kelompok kasus dan kontrol dipilih dari dua populasi yang terpisah, sehingga sulit dipastikan apakah benar-benar setara dalam hal faktor luar dan sumber distorsi lainnya.
Kelebihan :
a.       Relatif murah dan mudah dilakukan
b.      Cocok untuk meneliti penyakit dengan periode laten yang panjang. Peneliti cukup mengidentifikasi penyakit subjek yang telah mengalami penyakit dan tidak mengalami penyakit lalu mencatat riwayat paparan jadi tidak perlu mengikuti perkembangan penyakit bertahun-tahun.
c.       Subjek dipilih berdasarkan status penyakit, peneliti leluasa menentukan rasio ukuran sampel kasus dan kontrol yang optimal
d.      Dapat meneliti pengaruh sejumlah paparan terhadap sejumlah penyakit sehingga tidak saja cocok untuk menguji hipotesis tetapi juga untuk mengeksplorasi kemungkinan hubungan paparan dan penyakit yang masih belum jelas.
Contoh kasusHubungan antara Penyakit Diabetes Mellitus (DM) pada remaja dengan perilaku pemberian makanan.
Tahap pertama : Mengidentifikasi variabel-variabel penelitian
ü  Variabel dependen: remaja yang menderita DM (juvenile diabetes mellitus)
ü  Variabel independen: perilaku ibu dalam memberikan makanan.
ü  Variabel independent yang lain: pendidikan ibu, pendapatan keluarga, informasi mengenai komposisi gula dalam makanan
Tahap kedua : Menentukan subjek penelitian (populasi dan sample penelitian). Subjeknya adalah ibu dan anak remajanya. Subjek ini perlu dibatasi daerah mana yang dianggap menjadi populasi dan sample penelitian ini.
Tahap ketiga : Mengidentifikasi kasus, yaitu remaja yang menderita diabetes mellitus. Remaja yang menderita DM ditentukan dengan standar kadar gula dalam darah.
Tahap keempat : Pemilihan subjek sebagai kontrol, remaja yang tidak menderita diabetes mellitus. Pemilihan kontrol hendaknya didasarkan pada kesamaan karakteristik subjek pada kasus. (ciri-ciri masyarakat, sosial ekonomi dan sebagainya).
Tahap kelima : Melakukan pengukuran secara retrospektif. Pengukuran terhadap kasus (remaja yang menderita DM) dan dari kontrol (remaja yang tidak menderita DM). Memberikan pertanyaan kepada remaja dan orang tuanya dengan metode recall. (jenis-jenis makanan, minuman dan komposisi gula di dalamnya dan lain-lain).
Tahap keenam : Melakukan pengolahan dan analisis data. Dilakukan dengan membandingkan proporsi remaja yang mengkonsumsi gula pada kelompok kasus dan kelompok kontrol. Diharapkan akan muncul atau tidaknya bukti hubungan antara penyakit DM dengan konsumsi gula pada remaja.

3.         Metode Cohort (Kohor)
Adalah rancangan studi yang mempelajari hubungan antara paparan dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok terpapar (faktor penelitian) dan kelompok tak terpapar berdasarkan status penyakit.
Ciri studi kohor adalah pemilihan subjek berdasarkan status paparannya kemudian dilakukan pengamatan dan pencatatan apakah subjek mengalami penyakit yang diteliti atau tidak. Ciri lainnya adalah dimungkinkannya penghitungan laju insidensi (ID) dar masing-masing kelompok studi.
Langkah pelaksanaan penelitian cohort :
a)      Identifikasi faktor-fakor rasio dan efek
b)      Menetapkan subjek penelitian ( menetapkan populasi dan sampel )
c)       Pemilihan subjek dengan faktor resiko positif dari subjek dengan efek negatif
d)      Memilih subjek yang akan menjadi anggota kelompok kontrol
e)      Mengobservasi perkembangan subjek sampai batas waktu yang ditentukan, selanjutnya mengidentifikasi timbul tidaknya efek pada kedua kelompok
f)       Menganalisis dengan membandingkan proporsi subjek yang mendapatkan efek positif dengan subjek yang mendapat efek negatif baik pada kelompok resiko positif maupun kelompok kontrol.

Kelebihan :
a.       Kesesuaian logika studi eksperimental dalam membuat interferensi kausal (pada saat dimulai penelitian telah dipastikan semua subjek tidak berpenyakit sehingga sekuensi waktu antara paparan dan penyakit dapat diketahui dengan jelas.
b.      Peneliti dapat menghitung laju insidensi
c.       Sesuai untuk meneliti paparan yang langka (misal faktor lingkungan).
d.      Peneliti dapat mempelajari sejumlah efek secara serentak dari sebuah paparan.
e.      Pada studi kohor prospektif kemungkinan terjadi bias kecil dalam menyeleksi subjek dan menentukan status paparan.
f.        Tidak ada subjek yang sengaja dirugikan karena tidak mendapat terapi yang bermanfaat atau mendapat paparan faktor yang merugikan kesehatan.
Kekurangan :
a.       Rancangan kohor prospektif lebih mahal dan butuh waktu yang lama daripada case control atau kohor retrospektif.
b.      Pada studi kohor retrospektif butuh data sekunder yang lengkap dan handal
c.       Tidak efisien dan tidak praktis untuk mempelajari penyakit yang langka kecuali jika ukuran sampel relatif besar atau prevalensi penyakit pada kelompok terpapar cukup tinggi.
d.      Jika subjek hilang (karena migrasi, meninggal, tingkat partisipasi rendah, dsb ) dan terkait dengan paparan serta penyakit yang diteliti maka temuan menjadi tidak valid karena adanya bias waktu follow up.
e.      Tidak cocok untuk merumuskan hipotesis tentang faktor etiologi lain untuk penyakit tersebut karena faktor penelitian sudah ditentukan terlebih dahulu.
Contoh kasus : Penelitian yang ingin membuktikan adanya hubungan antara Ca paru (efek) dengan merokok (resiko) dengan menggunakan pendekatan atau rancangan prospektif.
Tahap pertama : Mengidentifikasi faktor efek (variabel dependen) dan resiko (variabel independen) serta variabel-variabel pengendali (variabel kontrol).
ü  Variabel dependen : Ca. Paru
ü  Variabel independen : merokok
ü  Variabel pengendali : umur, pekerjaan dan sebagainya.
Tahap kedua : Menetapkan subjek penelitian, yaitu populasi dan sampel penelitian. Misalnya yang menjadi populasi adalah semua pria di suatu wilayah atau tempat tertentu, dengan umur antara 40 sampai dengan 50 tahun, baik yang merokok maupun yang tidak merokok.
Tahap ketiga : Mengidentifikasi subjek yang merokok (resiko positif) dari populasi tersebut, dan juga mengidentifikasi subjek yang tidak merokok (resiko negatif) sejumlah yang kurang lebih sama dengan kelompok merokok.
Tahap keempat : Mengobservasi perkembangan efek pada kelompok orang-orang yang merokok (resiko positif) dan kelompok orang yang tidak merokok (kontrol) sampai pada waktu tertentu, misal selama 10 tahun ke depan, untuk mengetahui adanya perkembangan atau kejadian Ca paru.
Tahap kelima : Mengolah dan menganalisis data. Analisis dilakukan dengan membandingkan proporsi orang-orang yang menderita Ca paru dengan proporsi orang-orang yang tidak menderita Ca paru, diantaranya kelompok perokok dan kelompok tidak merokok.


Referensi :

  1. Murti, Bhisma. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  2. Notoadmojo, Soekidjo. Prof. Dr. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Boston, Selain menyebabkan penyakit jantung, stroke dan kanker paru-paru, rokok juga dapat mempengaruhi kejantanan pria. Tak hanya disfungsi ereksi atau impotensi, rokok ternyata juga dapat memperpendek ukuran penis.

Temuan ini berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan oleh peneliti dari Boston University School of Medicine terhadap 200 partisipan pria perokok. Dari hasil penelitian, rata-rata perokok mengalami pemendekan penis sebesar 1 cm.

"Ini merupakan penelitian terbesar yang pernah ada tentang rokok yang terkait dengan sensitivitas seks," ujar Dr Pedram Salimpour, salah seorang peneliti, seperti dilansir dari Guardian, Jumat (27/8/2010).

Menurut Dr Salimpour, pengaruh negatif rokok pada penis sama halnya dengan pengaruh rokok pada hati. Ini merupakan kerusakan pembuluh darah, yang membuat aliran darah terhambat.

Pada dasarnya ini merupakan efek elastin, yaitu protein jaringan ikat yang elastis dan memungkinkan jaringan dalam tubuh untuk kembali ke bentuk semula setelah mengalami peregangan atau kontraksi. Dalam hal ini, elastin mempengaruhi kemampuan ereksi penis.

Dr Salimpour menjelaskan, elastin seperti karet yang bisa meregang. Inilah yang terjadi pada penis sebagai akibat adanya peningkatan aliran darah.

Merokok dapat merusak kemampuan tubuh untuk melakukan hal tersebut, sehingga bisa mempengaruhi ukuran penis dan kemampuan ereksi. Tapi peneliti belum bisa menentukan berapa banyak rokok yang bisa merusak elastin dan memperpendek ukuran penis.

"Hal ini masih memerlukan studi lebih lanjut, tapi tampaknya bahaya rokok lebih rentan terhadap penis ketimbang hati," jelas Dr Salimpour.

Menurutnya, hal ini disebabkan karena pembuluh darah yang ada di penis jauh lebih kecil daripada pembuluh darah di hati. Pembuluh darah yang ada di hati berukuran 1,5 mm, sedangkan pembuluh darah penis 1 mm lebih kecil atau tepatnya berukuran 0,5 mm.

Tak hanya perokok aktif, Dr Salimpour juga menjelaskan bahwa ada kemungkinan bahwa hal yang sama juga bisa terjadi pada para perokok pasif. Tapi hal tersebut masih membutuhkan studi lebih lanjut.

"Meski industri rokok bersikeras dengan produknya, tapi fakta-fakta ilmiah menentang semua itu," tegas Dr Salimpour.(detikHealth,27/08/2010)

Salah satu zat di dalam rokok yang diketahui berbahaya atau menimbulkan risiko kesehatan adalah nikotin. Berapa lama nikotin berada di dalam tubuh seseorang?

Selain bisa menimbulkan risiko kesehatan, nikotin yang terkandung di dalam rokok juga membuat seseorang ketergantungan (adiksi) dan melemahkan keinginan seseorang untuk berhenti merokok. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang gagal
untuk berhenti merokok.

Ketika seseorang merokok, maka nikotin akan masuk dan mulai menumpuk di dalam tubuh. Lama kelamaan seseorang akan terbiasa dengan nikotin dan jika ia tidak mendapatkan jumlah yang sama maka tubuh akan meminta lebih. Dan biasanya jumlah nikotin yang masuk akan semakin besar atau meningkat.

Seperti dikutip dari eHow, Sabtu (4/9/2010) sebagian besar nikotin yang dikonsumsi (atau sekitar 90 persen) dengan cepat dimetabolisme oleh hati dan kemudian akan dikeluarkan melalui ginjal. Jumlah sisa nikotin akan tetap berada di dalam aliran darah selama 6-8 jam setelah merokok.

Jumlah nikotin yang tetap berada di dalam sistem tubuh tergantung pada seberapa banyak nikotin yang masuk. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dihisap setiap harinya. Namun tidak semua nikotin yang masuk akan dikeluarkan oleh tubuh, karena ada kemungkinan sejumlah tertentu nikotin yang tetap berada di dalam tubuh. Karena itu efek yang ditimbulkan dari nikotin membutuhkan waktu jangka panjang.

Rata-rata dalam satu batang rokok yang dihisap mengandung 1 mg nikotin yang masuk ke tubuh. Karenanya semakin banyak rokok yang dihisap dalam satu hari, maka semakin banyak pula nikotin yang masuk ke dalam tubuh.

Jika orang hanya sesekali merokok, kemungkinan nikotin akan menetap beberapa hari di dalam tubuh. Tapi jika termasuk perokok berat maka nikotin akan tetap berada di dalam aliran darah selama 30 hari setelah merokok. Hal tersebut terjadi jika seseorang berhenti merokok sama sekali setelahnya.

Jika dilihat dari jumlah rokok yang dikonsumsi, maka tingkatan kadar nikotin di dalam sistem tubuh manuisa terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

Perokok ringan. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah orang yang hanya sekali kali saja merokoknya, sehingga kemungkinan nikotin masih akan terdeteksi hingga 2-3 hari setelah merokok. Semakin lama jangka waktu seseorang berhenti merokok, maka akan semakin sedikit jumlah nikotin yang terdeteksi.
Perokok sedang. Yang termasuk kelompok ini adalah orang yang merokok secara tidak beraturan, mungkin sekali atau hanya dua kali dalam seminggu. Jumlah nikotin yang terdeteksi kemungkinan sedikit lebih tinggi dibandingkan pengguna ringan.
Perokok berat. Yang termasuk kelompok ini adalah orang yang merokok secara teratur atau sudah masuk ke dalam kategori kecanduan. Jumlah nikotin yang terdeteksi tinggi karena hampir setiap hari menerima asupan nikotin baru yang masuk ke dalam tubuh.

Kadar nikotin ini bisa dideteksi melalui pemeriksaan urine, tapi zat ini hanya bisa terdeteksi dalam waktu 3-4 hari saja atau pada perokok berat dalam waktu 10-20 hari. Untuk pemeriksaan yang lebih sensitif melalui pengujian folikel rambut, pemeriksaan ini bisa mendeteksi kadar nikotin dan juga obat-obatan terlarang namun harganya akan lebih mahal.

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi kadar nikotin di dalam tubuh adalah dengan mengonsumsi air yang cukup dan berolahraga. Dengan mengonsumsi air yang cukup akan membantu mempercepat proses pembersihan tubuh. Sedangkan olahraga yang dilakukakn berguna untuk membantu mempercepat proses metabolisme tubuh.(detikHealth,04/09/2010)

Sebagian besar masyarakat tahu bahwa rokok bisa merusak kesehatan tubuh. Tapi ternyata rokok juga bisa mempengaruhi kondisi kulit seseorang sehingga menimbulkan jerawat yang dikenal dengan 'smoking acne'.

Beberapa peneliti memang telah mempercayai fakta tersebut. Peneliti dari San Gallicano Dermatological Institute di Roma, Italia menuturkan bahwa rokok bisa menyebabkan jerawat, khususnya jerawat yang tidak meradang (non-inflamed) dan juga komedo akibat pori-pori yang tersumbat.

Seperti dikutip dari Acne.about.com, Senin (25/10/2010) berdasarkan penelitian, sekitar 42 persen perokok menderita jerawat sedangkan kelompok non-perokok hanya sebesar 10 persen saja. Dan perokok memiliki risiko yang lebih tinggi terkena jerawat yang tidak meradang. Dalam penelitian ini juga diketahui tiga perempat dari partisipan perempuan yang merokok memiliki jerawat.

Meski demikian jumlah rokok yang dihisap tidak berpengaruh terhadap tingkat keparahan jerawat. Tapi jika seorang perempuan pernah mengalami jerawat di masa remajanya, kelompok ini memiliki kemungkinan empat kali lebih tinggi terkena jerawat saat dewasa.

Sedangkan partisipan non-perokok yang memiliki jerawat tidak meradang sebagian besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti sering terkena uap atau terus menerus terpapar asap rokok.

Merokok memang bisa membahayakan kesehatan kulit, karena bisa menyempitkan pembuluh darah dan merusak permukaan tubuh yaitu sel-sel di kulit yang merupakan pertahanan baris pertama dari perlindungan tubuh. Kondisi ini juga bisa memicu penyumbatan dari pori-pori kulit yang menyebabkan timbulnya komedo yang berujung munculnya jerawat.

Selain itu merokok juga bisa mengganggu penampilan kulit, seperti kulit keriput dan juga penuaan dini. Hal ini karena rokok dapat menciptakan radikal bebas, merusak produksi kolagen serta merusak protein kulit pada usia berapa pun. Karenanya salah satu cara pencegahan penuaan dini adalah dengan berhenti atau menghindari asap rokok.
(detik Health,24/10/2010).

A.      Pengertian
Gastritis adalah inflamasi dari dinding lambung terutama pada mukosa gaster (Sujono,1999)
Gastritis adalah suatu peradangan pada lambung ditandai dengan anoreksia, rasa penuh di perut, rasa tidak enak dan nyeri epigastrium, mual dan muntah (Long,1996)
gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan sub mukosa lambung (Hirlan,2007)
Pembagian Gastritis menurut Sujono (1996)
1.       Gastritis akut
Adalah suatu peradangan permukaan lambung yang akut dengan kerusakan-kerusakan erosif erosif maksudnya kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam daripada mukosa muskularis. Sering disebut juga tukak beban/tukak stress sebagai reaksi pada permukaan mukosa lambung akibat iritasi (alkohol, aspirin,NSAID,lisol,reflux empedu, cairan pancreas).
Gambaran klinis
Biasanya tak bergejala namun nyeri epigastrium, mual, muntah, perdarahan terselubung maupun nyata ditemukan. Dengan endoskopi terlihat mukosa lambung hyperemia dan udema, lesi mukosa berupa erosi dan perdarahan.
Jenis gastritis akut :
a.    Gastritis Eksogen akut
      Dibagi menjadi : gastritis eksogen dan gastritis akut korosif bersifat korosif karena obat dan bahan kimia.
b.    Gastritis endogen akut
      Dibagi menjadi : gastritis infeksiosa akut (disebabkan karena toksin/bakteri dalam darah dan masuk ke jantung dan gastritis flegmans akut (proses inflamasi bersifat purulen di dinding lambung)
2.         Gastritis Kronik
Adalah suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang menahun yang disebabkan oleh ulkus benigna/maligna dari lambung atau oleh bakteri helicobacter pylori yang menyerang permukaan gaster.
Jenis gastritis kronis : gastritis superfasialis,gastritis atrofikans kronika,gastritis hipertrofikans kronika.
B.      Penyebab
1.       Makanan yang terlalu pedas, asam dan kopi serta ketidakteraturan pola makan
2.       Bakteri H.Pylori/ Endotoksin
3.       Merokok, alkohol
4.       Obat golongan NSAID
C.      Patofisiologi
Gastritis terjadi terutama pada mukosa gastroduodenal karena jaringan ini tidak dapat menahan kerja asam lambung pencernaan (asam HCL) dan pepsi, erosi yang terkait berkaitan dengan peningkatan konsentrasi dan kerja asam-pepsin atau berkenaan dengan penurunan pertahanan normal dari mukosa. Mukosa yang rusak tidak dapat mensekresi mukus cukup untuk bertindak sebagai barier terhadap HCL. Seseorang  mungkin mengalami gastritis karena 2 faktor yaitu hipersekresi asam pepsin dan kelemahan barrier mukosa lambung. Pada gastritis akut terdapat gangguan keseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensive yang berperan dalam menimbulkan lesi pada mukosa lambung. Faktor agresif tersebut HCL, pepsin, asam empedu, infeksi, virus, bakteri dan bahan korosif (asam dan basa kuat). Sedangkan faktor defensive adalah mukosa lambung dan mikro sirkulasi.
Dalam keadaan normal faktor defensive dapat mengatasi faktor agresif sehingga tidak menimbulkan kelainan patologis pada lambung. Tukak lambung/tukak peptik merupakan keadaan dimana kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai bawah epitel.
D.      Tanda dan Gejala
Keluhan biasanya berupa nyeri ulu hati, anoreksia, mual kadang disertai muntah dan nyeri tekan ringan di epigastrium.
E.       Penatalaksanaan
1.       Memberi penjelasan pada penderita untuk menghindari alkohol dan makanan pedas sampai gejala berkurang/hilang.
2.       Dilakukan terapi simtomatik dengan diberikan obat yang menetralkan/mengurangi asam lambung (antacid,antikolinergik).
3.       Bila terjadi peradangan disertai erosi mukosa lambung dapat diberikan obat antagonis golongan reseptor H2 (cimetidin,ranitidine,atau famotidin)
4.       Pembedahan darurat mungkin dilakukan untuk mengangkat gangrene/jaringan perforasi.
5.       Dapat dilakukan gastrojejunostomi (reseksi lambung) untuk mengatasi obstruksi pylori.
6.       Mengurangi stress
7.       Diberikan vitamin B12 bila terjadi anemia pernisiosa

Referensi :
Brunner dan Suddarth,1997, Buku ajar keperawatan medical bedah,ed VIII, EGC, Jakarta
Soeparman,1990,Ilmu Penyakit Dalam, ed.II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta